
Liem
Swie King lahir di Kudus, Jawa Tengah, 28 Februari 1956 adalah seorang pemain
bulu tangkis yang pernah menjadi buah bibir setelah mampu menantang Rudy
Hartono di final All England tahun 1976 saat usia 20 tahun. Swie King kemudian
menjadi pewaris kejayaan Rudy di kejuaraan paling bergengsi saat itu dengan
tiga kali juara ditambah empat kali menjadi finalis. Bila ditambah dengan
turnamen “grand prix” yang lain, gelar kemenangan Swie King menjadi puluhan
kali. Swie King juga menyumbang medali emas saat Asian Games di Bangkok 1978,
dan enam kali membela tim Piala Thomas. Tiga di antaranya Indonesia menjadi
juara.
Sebagai
pemain bulu tangkis Liem Swie King dapat dikatakan sebagai pemain yang lengkap.
Permainan net yang tajam dan halus, stroke-nya lengkap, smash-nya keras kerap
membuat lawan-lawannya kalang kabut. Dilakukan sambil melayang, shuttlecock
dipukul saat tubuh belum menyentuh tanah. Smash yang dilakukan sambil meloncat
juga menjadi trade mark tersendiri dengan sebutan King Smash.
Pada
malam yang bersimbah keringat Liem Swie King berhasil mengalahkan maestro bulu
tangkis Indonesia, Rudy Hartono pada pertandingan final All England 1978.
Itulah pertama kali King menjadi juara All England, sejak saat itu Liem Swie
King memyedot animo para pecinta bulu tangkis
Indonesia, namanya mulai disegani lawan. Bulu tangkis adalah kegemaran King
sejak kecil, dulu ketika akan bermain dia memasang sendiri net di lapangan.
King
juga ingat betapa keras sikap ayahnya,
sang Ayah akan marah besar setiap kali dia pulang dengan tertunduk karena
kalah. Itulah yang memacu dirinya untuk bisa menjadi juara. Dari sebuah gudang
pabrik rokok Djarum semua cerita dimulai. Gudang yang pada pagi hingga siang
digunakan sebagai tempat produksi. Pada sore harinya, setelah hiruk pikuk pekerjaan
melinting rokok selesai, disulap menjadi lapangan bulu tangkis. Tidak hanya
karyawan, tetapi juga masyarakat umum, termasuk Liem Swie King berlatih di
antara aroma sisa-sisa tembakau.
Di
antara orang-orang yang berlatih tampak juga CEO PT Djarum, Budi Hartono yang
juga penggemar bulu tangkis mengamati perkembangan Liem Swie King. Dia lalu
menginstruksikan kepada King untuk latihan servis dengan sasaran ke sudut-sudut
jauh base-line. Pada setiap sudut ditempatkan sebuah tong kecil dan setiap bola
servis yang masuk ke tong diperhitungkan jumlahnya. Terkesan dengan bakat King,
Budi Hartono kemudian meminta Agus Susanto yang juga kakak iparnya untuk
melatih King lebih serius. Sebagai hasilnya pada 1972, di Piala Moenadi, King
keluar sebagai juara tunggal putra junior, merupajan gelar pertamanya di dunia
bulu tangkis. Setahun berikutnya, King menjadi runner-up PON 1973 di Jakarta.
Kemudian, pada tahun yang sama PB PBSI memanggilnya ke Pelatnas di Senayan.
Sejak
saat itu, perlahan-lahan King menjelma menjadi King Smash. Dia meraih gelar
kejuaraan bulu tangkis bergengsi All England pada 1978, 1979, dan 1981, dan
termasuk secara beregu, membawa lambang supremasi bulu tangkis beregu putra
Piala Thomas tahun 1976, 1979, dan 1984.
Gelar
kemenangan Swie King menjadi puluhan bila ditambah dengan turnamen “grand prix”
yang lain. King juga menyumbang medali emas Asian Games di Bangkok 1978, dan
enam kali membela tim Piala Thomas.
Di
luas semua prestasi yang telah oa raih, banyak pengamat menilai dia punya
kekurangan pada mentalnya. Menjelang final All England 1980, setelah
lampu-lampu dipadamkan dia tidak segera bisa tidur. Memikirkan lawan perkasa
yang sudah garang menantinya: Prakash Padukone dari India.
Kemudian
King kalah. King juga pernah diskors PBSI karena terlambat datang di partai
tunggal putra SEA Games melawan Lee Hai Thong dari Singapura, akibatnya dia
dinyatakan kalah WO. Skorsing 3 bulan adalah waktu yang terlalu lama, apalagi
bagi seorang atlit yang haus gelar. Dalam masa skorsing itu, pemuda yang sesungguhnya
pemalu itu tiba-tiba terjun di dunia film. Ia bermain dalam film Sakura Dalam
Pelukan, mendampingi artis Eva Arnaz.
Mei
1984, pada kejuaraan bulu tangkis beregu Piala Thomas melawan Cina, lewat
pertarungan seru di Kuala Lumpur, King yang bermain di tunggal pertama dan
diharapkan membawa kemenangan, sekaligus memudahkan jalan bagi pemain
selanjutnya ternyata malah kandas.
Ia
kalah rubber set 15-7, 11-15, 10-15 dari pemain Cina yang jadi musuh
bebuyutannya, Luan Jin, tapi Piala Thomas berhasil diboyong. Demikian juga
beberapa waktu sebelumnya, di arena All England, King juga gagal. Tapi kali ini
dia dihentikan pemain tangguh Denmark, Morten Frost Hansen. Dari serangkaian
kegagalan tersebut, King akhirnya memutuskan mundur dari dunia bulu tangkis tunggal
perseorangan, setelah berkiprah selama 15 tahun.
Kini ayah dari Alexander,
Stephanie dan Michelle, serta istri Lucia Sumiati Alamsah ini mengisi harinya
dengan berkumpul bersama keluarga. Setidaknya setiap seminggu dua kali dia
masih sempat bermain tenis sambil mengelola bisnis perhotelan dan spa di Jakarta.
Ironisnya ketiga anak Liem Swie King tidak tahu bahwa ayahnya adalah seorang
legenda bulutangkis Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar